Yodium Tidak Rusak atau Hilang dalam Pemasakan..!
Iman Sumarno (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan)
MAKALAH ini ditulis karena adanya kontroversi dalam masyarakat tentang garam beryodium. Di satu pihak masyarakat dianjurkan untuk mengonsumsi garam beryodium, namun di lain pihak ada informasi yang menyatakan bahwa sebagian besar yodium dalam garam rusak pada saat proses pemasakan, bahkan bila digunakan membuat sambal atau masakan dengan cabai yang dihaluskan dan penambahan cuka yodium akan hilang. Sehingga masyarakat dianjurkan untuk menambahkan garam beryodium setelah makanan masak.
Apabila ini benar, maka gugur semua teori dan upaya untuk mencegah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dengan yodisasi garam yang sudah dilakukan lebih dari 20 tahun. Ini berarti, apa yang dilakukan pemerintah selama ini, merupakan pekerjaan mubazir yang sia-sia. Namun sebelum kita menarik kesimpulan yang begitu drastis fakta justru menunjukkan bahwa yodisasi garam sangat efektif dalam menanggulangi GAKY. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian maupun dalam program penanggulangan GAKY di dalam negeri maupun beberapa negara di dunia.
Bukti empiris dari pengalaman di banyak negara di dunia dari Amerika Utara, Amerika Latin, Asia, dan Afrika, menunjukkan bahwa garam yodium sangat efektif dalam penanggulangan GAKY. Ketidakefektifan umumnya terjadi justru karena kegagalan pasokan, seperti di Afrika dan Mediteran. Di Guatemala, fluktuasi pasokan garam beryodium justru semakin memperkuat bukti bahwa garam beryodium sangat efektif untuk menanggulangi masalah GAKY. Pada awal program yodisasi garam terjadi penurunan prevalensi gondok. Saat terganggu pasokan garam beryodium karena peperangan, prevalensi gondok kembali meningkat.
Setelah situasi normal pasokan garam beryodium dapat berlangsung secara lancar, prevalensi gondok turun drastis. Hal ini membuktikan bahwa yodium masih ada dan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Apalagi jenis bumbu yang digunakan negara Amerika Latin pun banyak menggunakan lada dan cabai. Jadi, kalau ada yang menyatakan bahwa yodium hilang maupun rusak dalam pemasakan mesti ada sesuatu yang keliru.
Sebenarnya, sudah dilakukan upaya untuk menjelaskan kebenaran masalah ini oleh departemen terkait dan Unicef, bahwa informasi rusaknya dan hilangnya garam beryodium dalam pemasakan adalah tidak benar. Namun, kontroversi masih tetap ada di masyarakat umum, pejabat, bahkan ilmuwan. Lebih ironis lagi, pertanyaan ini muncul dalam Seminar Nasional GAKY yang di adakan 4-6 November 2001 di Semarang, dan bahkan masih ada para ahli gizi pada awal Juli 2002 saat Kongres Persatuan Ahli Gizi dan Temu Ilmiah di Jakarta yang masih menganggap bahwa yodium rusak atau hilang dalam pemasakan menggunakan cabai atau cuka.
Kronologis pemasakan
Pada tahun 1996 suatu penelitian dilakukan di Bali untuk mengukur kadar yodium dalam sayuran dengan cabai dan masakan dengan menggunakan metode yodometri. Metode ini dapat mendeteksi yodium bila kadarnya paling rendah 10 ppm. Hasilnya, tidak ada yodium yang dapat dideteksi. Begitu melihat hasil ini peneliti langsung memaparkan hasil penelitiannya dalam suatu pertemuan, yang pada intinya menyatakan yodisasi garam untuk penanggulangan GAKY tidak ada gunanya.
Untuk mengetahui kebenaran dari hasil penelitian ini, Puslitbang Gizi juga melakukan penelitian yang sama, hanya metode yang digunakan lebih teliti yaitu dengan Wet Digestion yang kemudian dibaca dengan colorimetry. Dengan cara ini kadar yodium serendah-rendahnya 1 ppm dapat didieteksi. Hasilnya juga sama, namun karena menggunakan alat yang lebih sensitif masih 15 persen yodium yang terdeteksi. Hasil analisis ulang terhadap campuran garam beryodium 40 ppm dan 80 ppm juga serupa. Analisis pada masakan dengan dua jenis cabai yang berbeda serta penambahan cuka yang berbeda menunjukkan yodium yang masih dapat dideteksi berkisar antara 14 persen sampai 22 persen untuk penambahan garam dengan yodium 40 ppm dan antara 10 persen sampai 17 persen pada penambahan yodium 80 ppm.
Dengan penambahan cabai merah saja yodium yang terdeteksi hanya 22,9 persen pada yodium 40 ppm, namun hanya 17,3 persen pada yodium 80 ppm. Penambahan cabai rawit mengakibatkan yodium yang terdeteksi menjadi lebih rendah, dibandingkan dengan cabai merah. Pada kadar yodium 40 ppm yodium yang terdeteksi 17,9 persen, sedangkan pada yodium 80 ppm yang terdeteksi 15,1 persen.
Penambahan cuka ternyata juga memperkecil yodium yang dapat terdeteksi dengan metode Wet Digestion sampai 11,6 persen pada penambahan garam dengan kadar 80 ppm.
Berdasarkan temuan ini disimpulkan bahwa sebagian besar yodium hilang dalam pemasakan, terutama bila dimasak dengan cabai dan apalagi bila ditambah cuka. Beberapa mereka-reka kejadian ini dengan menghubungkan sifat yodium dalam bentuk I2 yang mudah menguap. Untuk menyelamatkan program yang sudah dilaksanakan dan mengurangi kesia-siaan dari yodisasi garam, keluarlah anjuran untuk membubuhkan garam setelah hidangan masak (matang). Usulan sederhana yang tidak sederhana seperti yang telah dibahas di atas.
Kebenaran penelitian
Namun, upaya pembuktian masih belum memuaskan semua orang. Hal ini didasarkan kepada fakta, contoh, dan bukti empiris dari penggunaan garam beryodium di dunia. Karena itu, pada tahun 1999 dua penelitian telah dilakukan oleh Puslitbang Gizi dengan bantuan dana dari Unicef.
1. Penelitian laboratorium yaitu dengan pelabelan di yodium dengan metode radio isotop untuk melacak yodium dari garam dalam masakan.
2. Penelitian epidemiolgi, mengukur kadar yodium dalam urine murid wanita SLTA di Yogyakarta (daerah bukan pengonsumsi cabai), Bukittinggi (daerah pengonsumsi cabai merah), dan Tombatu serta Kawangkoan di Sulawesi Utara (daerah pengonsumsi cabai rawit). Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah yodium dalam garam yang dimasukkan ke dalam masakan masih dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Dua hasil penelitian ini saling menunjang. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa yodium masih ada di dalam masakan, dan yodium yang masih ada dalam masakan dapat dicerna tubuh, yang ditunjukkan dengan tingginya kadar yodium dalam urine anak sekolah di ketiga daerah penelitian. Penelitian dengan yodium yang diberi label menunjukkan bahwa penggunaan cabai dalam masakan, 90 persen masih dapat dideteksi di dalam makanan. Penambahan cuka makan 25 persen selain cabai mengakibatkan yodium yang dideteksi masih 77 persen.
Penelitian kadar yodium dalam urine di tiga daerah menunjukkan yodium dalam urine murid perempuan SLTA masih tinggi. Median yodium dalam urine murid perempuan SLTA sampel masing-masing 212,5 mg/L, 174,0 mg/L, dan 129,0 mg/L, masing-masing di Gunung Kidul, Bukittinggi, dan Minahasa. Semua masih berada di atas batas 100 mg/L, yang menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan tidak termasuk daerah kekurangan yodium.
Pertanyaan yang timbul adalah, kenapa dengan metode iodometri dan wet digestion hanya sedikit bahkan tidak ada sama sekali yodium yang dapat diidentifikasi dalam makanan dengan bumbu cabai dan apalagi ditambah cuka? Secara kasar kedua metode ini menggunakan dasar reaksi kimiawi, yang mengakibatkan munculnya yodium bebas.
Yodium bebas inilah yang dideteksi, baik dengan titrasi maupun colorimetry. Pada saat KIO3 berada dalam garam pengujian, dengan kedua cara ini akan memberikan hasil yang sangat baik. Karena dalam reaksi dengan asam kuat akan timbul yodium bebas yang dapat dideteksi dengan titrasi, dengan amylum, atau dengan colorimetri.
Namun, begitu dicampur dengan bumbu yodium membentuk ikatan kompleks, apalagi cabai yang mempunyai rumus kimia yang panjang, sehingga penambahan asam kuat pun sebagian besar yodium tidak terurai bebas, akibatnya tidak bisa terdeteksi dengan titrasi maupun colorimetri. Padahal yodium tidak hilang atau rusak. Hal ini terbukti dengan pelabelan yodium dengan menggunakan radio isotop, ternyata yodium terdeteksi berada dalam makanan yang bersangkutan.
Namun, pertanyaan lain muncul apakah yodium yang terikat dalam garam kompleks dapat dimanfaatkan oleh tubuh? Lebih jauh lagi, walaupun dalam pengujian secara kimiawi yodium tidak dapat dideteksi, namun dalam tubuh yodium dapat diserap, terbukti dengan kadar yodium dalam urine yang masih di atas 100 mg/L. Walaupun demikian, memang tidak semua yodium dapat dideteksi hanya 90 persen dan penambahan cuka mengakibatkan yodium yang terdeteksi hanya tinggal 77 persen. Namun, 77 persen sudah cukup memenuhi kebutuhan yodium bila digunakan garam dengan kadar yodium 30 ppm.
Kesimpulannya adalah bila digunakan garam dengan kadar yodium 30 ppm, maka konsumsi yodium 165 mg per orang per hari, yang masih lebih tinggi dari kebutuhan 150 mg per hari, walaupun ibu memasak dengan cara memasukkan garam selama proses pemasakan (tidak harus ditunggu setelah yang dimasak matang).
Sumber : Kompas (23 Agustus 2002)
Rabu, 04 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar